Kajati Jabar dan Kejagung RI Dipraperadilankan Warga Garut

Hukum, Nasional394 Dilihat
banner 468x60

DINAMIKA – Tiga orang warga Kabupaten Garut melalui kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Asep Muhidin, SH., MH resmi mendaftarkan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Bandung kelas 1A.

Praperadilan dimaksud terhadap Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dan kejaksaan Agung RI pada Kamis, 7 Desember 2023 dan telah diregister dengan perkara nomor 22/Pid.Pra/2023/PN Bdg.

banner 336x280

Kuasa Hukum para pemohon Asep Muhidin, SH., MH menegaskan sebelumnya Kejaksaan Tinggi Jawa Barat sejak sejak Desember 2022 telah memulai penyelidikan terhadap kasus dugaan Tindak Pidana Korupi pada BPR Bank Intan Jabar Garut.

Baca Juga :  Kejagung Amankan Seorang Jaksa Gadungan

Bahkan telah menaikan status ke tahap penyidikan sejak 10 Januari 2023 dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Nomor: Print-33/M.2/Fd.1/01/2023 dan dilanjutkan dengan diumumkannya ada kerugian keangan mencapai Rp. 10 Milyar dari tahun 2018-2021.

Akibat belum adanya penetapan tersangka dan dilakukan penahanan secara resmi, tiga orang masyarakat Garut mengajukan Praperadilan ke Pengadilan Negeri Kelas 1A Bandung.

Kuasa Hukum warga Garut Asep Muhidin, SH. MH membenarkan adanya pemberian kuasa dari tiga orang warga Garut dari sekian banyak yang akan memberikan kuasa.

Baca Juga : Dampak Letusan Gunung Marapi Terhadap Penerbangan

“Kami batasi dulu minimal 2 orang warga yang memberikan kuasa kepada kantor hukum kami, awalnya banyak yang akan memberikan kuasa tetapi maksud dan tujuannya sama, jadi dibuat oleh 3 orang dulu,” ungkap Asep melalui sambungan selulernya, Jumat (08/12/2023).

Adapun maksud dan tujuan warga Garut ini meminta Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dapat memberikan kepastian hukum terhadap perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi di BPR Bank Intan Jabar Garut (BIJ) yang telah merugikan keuangan mencapai Rp. 10 Milyar dan setatusnya telah masuk ke tahap penyidikan.

Asep beralasan, dengan mempedomani kepada Asas Kepastian Hukum, Hak Asasi Manusia, Pasal 106 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi (UU TIPIKOR), dan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus, seharusnya Kejaksaan Tinggi Jawa Barat telah menetapkan dan menahan tersangkanya, namun sampai saat ini belum dilakukan pihak Kejati Jabar.

Baca Juga : Hujan Abu Marapi,  Otoritas Imbau Warga Kurangi Aktivitas Luar Rumah

Selain itu, masyarakat juga mempunyai legalstanding dengan mempedomani kepada Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 98/PUU-X/2012 tanggal 25 Maret 2013 yang merubah frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“.

Selain itu, dengan berlarut-larutnya penanganan suatu perkara dugaan korupsi tentunya melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diantaranya kita penegak hukum harus memaknai dan memahami isi Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasan Kehakiman.

Pada pasal itu menyebutkan “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.”

Baca Juga : Dandim Pimpin Penanaman Pohon dan Bersih-bersih Pasar

Dari rumusan itu diketahui bahwa setiap “kelambatan” penyelesaian perkara pidana yang disengaja oleh aparat penegak hukum merupakan pelanggaran terhadap HAM, dan frase membant pencari keadilan.

Artinya penyidik kejaksaan apabila mengalami hambatan harus disampaikan dimuka pengadian dan Hakim wajib membantu, memecahkan solusi hambatannya, dan pencari keadilan masyarakat hars mendapatkan keadilan yang utuh, tidak terpotong-potong.

Apalagi kalau mengacu kepada Pasal 265 ayat (2) Peraturan Jaksa Agung RI Nomor : PER-017/A/JA/07/2014 tentang Perubahan PER-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi Dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus.

Baca Juga : Implementasi Peran BPIP dalam Kultur Budaya Lokal

Di sana ditegaskan: “Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, maka dalam waktu paling lama 50 (lima puluh) hari sejak diterbitkannya Surat Perintah Penyidikaan, Kepala Kejaksaan Tinggi atas usul Tim Penyidikan dan saran/pendapat Asisten Tindak Pidana Khusus harus sudah menemukan dan menetapkan tersangka.”

“Sedangkan dalam penanganan kasus dugaan Tipikor BIJ Garut, Surat Perintah Penyidikaan diterbitkan 10 Januari 2023 sehingga waktu 50 hari jatuh pada tanggal 5 Juni 2023 harus sudah ada penetapan tersangka dan dilakukan penahanan. Ini sampai sekarang kan belum,” cetus Asep.

Asep berpendapat, hukum atau aturan itu untuk ditaati dan dipatuhi semua orang, bukan untuk rakyat saja dan penegak hukumnya bebas bisa melakukan pelanggaran, baik administrasi maupun pidana.

Baca Juga : DKKG Desak Pemkab Segara Keluarkan Regulasi Tentang Kebudayaan

“Disinilah kita harus memaknai apa makna asas equality before the law, asas tersebut maknanya bukan persamaan dihadapan hukum, itu arti dari equality before the law,” tukas dia.

Adapun permohonan dalam Praperadilan tersebut, sederhana, segera tetapkan tersangka dan tahan, karena jelas dalam SOP Kejaksaan dan peraturan lainnya telah mengatur bagaimana tahapan proses dari penyelidikan, penyidikan, penahanan sampai ke persidangan dan eksekusi serta berapa lama waktu yang diaturnya.(***)

banner 336x280